Saya juga heran, kenapa orang2 eksistensial itu ngebucin semua, gagal semua dan akhirnya melankolis semua.
Nah soal eksistensial dan essensial itu adalah pertanyaan yang bagi saya pribadi itu tidak essensial. Karena saya sudah lihat dari jawabanya nitzche. Jadi sebenarnya gini, baraya boleh ikut sama2 nanya ya..
Matahari itu, dia kita sebut sebagai matahari itu karena wujudnya matahari, (eksistensinya) atau karena dia bersinar, menerangi kita (essensinya)? Dia disebut matahari itu, kita melihat itu matahari, kita sepakat itu matahari.
- Apakah kita sebut matahari itu gara2 dia bersinar,
- atau gara2 wujudnya begitu, ada di langit... menyinari...
Kita memandang matahari itu gara2 sinarnya atau gara2 wujudnya? Nah itu perdebatan antara essensialis dan eksistensialis.
Nanti dalam periode2 selanjutnya di dalam filsafat barat, itu dibahas. Nanti pada periode2 selanjutnya pada filsafat barat, itu dibalik. Bahwa yang sesungguhnya essensi itu adalah eksistensi, dan yang sesungguhnya eksistensi itu adalah essensi.
Dalam tradisi Islam juga itu berkembang sebenarnya, Suhrawardi itu sudah pernah mengajukan pertanyaan yang seperti itu, sebenarnya ada eksistensial atau essistensial? Nah tetapi yang tadi saya katakan itu, saya akan mengabikan pertanyaan itu, gara2 saya termasuk orang yang paham bahwa filsafat telah mati. Filsafat telah mati, karena banyak sekali akhirnya argumen2 yang ...
Ini sebenarnya bukan filsafat telah mati, tetapi filsafat modernisme itu telah mati. Jadi filsafat modernisme telah mati dalam artian definisi2 yang kita gunakan, seperti yang tadi itu, pada akhirnya menjadi cacat logika. Ketika kita mendefinisikan sesuatu, itu pada akhirnya menjadi bermasalah. Inilah yang menjadikan tokoh2 filusuf barat itu yang masuk, terpaksa atau tidak masuk pada post-moderninsme. Dimana ide dan gagasan itu menjadi terlalu subjektif, dan menjadi terlalu in0padi apa yang saya katakan begini, orang lain katakan begitu, bisa saja keduanya benar, walaupun itu bertentangan. .
Nah jadi, pahaman saya misalkan,
Apakah hidup itu membosankan?
Cara saya memandang hidup itu pesimis atau optimis?
Apa yang menyebabkan baraya itu punya KEHIDUPAN. Dan kenapa harus saya garis bawahi bahwa filsafat telah mati? karena sebenarnya yang menghendaki kita berkehendak itu bukan kita. Jadi ketika manusia itu bangkit sebagai kehidupan, dia memiliki tiga essensi,
Kehendak, untuk hidup
Kehendak, untuk bahagia
Kehendak, untuk berkehendak
Tiga hal inilah yang pada akhirnya mendorong kita untuk bereksistensi. Kehendak untuk hidup, ini memunculkan rasa takut, memunculkan rasa cinta. Kehendak untuk bahagia, itu adalah motif dari segala sesuatu yang kita lakukan.
Mau sholat, mau puasa, karena motifnya kita pingin bahagia. Atau karena kita menghindari dari duka cita. Dan kehendak, untuk berkehendak. Karena kehendak itu sebenarnya sangat besar, dan terlalu general, maka itu memunculkan keinginan kedua yaitu kehendak untuk berkehendak. Dari tiga statement ini tidak ada satupun yang kita kehendaki. Yang tidak bermula dari kita. MISAL gini, kenapa kita pakai baju? itu adalah dorongan dari sosialisasi masyarakat kepada kita. Seandainya sejak kecil kita tidak didorong untuk pakai baju, kita tidak akan menggunakan baju. Jadi kenapa? kita nurut pada kehendak sosial itu? dan kenapa? masyarakat mendorong kita untuk seperti itu? ITU semuanya jawabanya ringkas dan sederhana. YAITU tuntutan gen.
Jadi tubuh manusia itu sebenarnya bukan essensi, bukan eksistensi. Manusia itu hanya sekedar topeng, gimmick atau inang, dari satu kehendak yang jauh lebih besar, yaitu GEN. Jadi misal, saya tidak mau tertarik pada wanita, tapi dorongan itu tidak bisa saya hilangkan. Saya bener2 terdorong, walaupun dorongan itu tidak saya kehendaki atau tidak pernah saya inginkan. TAPI itu muncul, nah kenapa? karena dorongan itu, dorongan yang tidak akan saya kehendaki. Jadi ternyata dorongan kita, kehendak kita, itu ternyata didorong oleh sesuatu di luar nalar kita, di luar kehendak kita. Jadi ketika hidup kita itu menjadi bosan, menjadi kosong, itu menjadi nonsense, karena itu bukan bagian dari kita. Kita menjadi bahagia, kita menjadi sedih, toh itu bukan dorongan dari diri kita sendiri. Makanya ketika ada pertanyaan seperti yang tadi APAKAH saya memandang dunia sebagai pesimis atau optimis? Apakah saya seorang essensialis atau eksistensialis? apakah saya seorang yang idealis atau materialis? ataukah saya yang semacam itu. ITU PADA AKHIRNYA tidak relevan, karena semua yang saya pikirkan, yang saya gagas, yang saya berbuat, dorongan2 dalam hati saya, itu ternyata berasal bukan dari dorongan SAYA. Orang2 biologi modern, yang dipawangi o leh DOLKINS, Yang juga dia adalah seorang filusuf, dia menyebut bahwa dorongan itu awalnya dari GEN. HEGEL dengan bahasa definisi dan pemahaman yang berbeda, tetapi bisa kita sangkut pautkan, bahwa yang mendorong kita untuk melakukan ini semua itu dia sebut sebagai roh absolut. Ada roh yang mendorong kita, dan kita tidak bisa berkehendak pada dia. Bahkan dia sepenuhnya masih misteri, bahkan dia memasukkan memetika memetika itu pada kita. Kalau dalam tradisi islam, yang melakukan itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, Alloh SUbhanahu wa Ta'la.
Nah dalam konsep inilah sebenarnya kita tidak paham, sebenarnya diri kita itu siapa? kosong aja. Bahkan kehendak paling dasar di kita pun, berasal dari pihak lain. Itulah sebabnya, dalam tradisi islam yang saya sebut, SUHRAWARDI, atau IBNUL AROBI, yang kebanyakan kita menganggapnya sesat, itu lah yang menjadi argumentasi dasar bahwa kita ini adalah bagiand ari TUhan. Karena bahkan kehendak kita pun, kehendak TUHAN. Penjuluran dari kehendak Tuhan. Kita hanya kedok, hanya topeng, hanya baju ironmen, yang kita tidak bisa melakukan apapun, tanpa kehendak dari sesuatu yang menghendaki kita seperti itu tapi kita tidak bisa mengatur kehendaknya. Bahkan kehendak yang kita punya, bukan berasal dari diri kita sendiri. Jadi mau bahagia, mau sedih, dan sebagainya.. itu bukan dari diri kita.
Komentar
Posting Komentar