Perspektif dalam Kebijakan
.
Kuliah ini dimaksudkan untuk memberi rasa waspada pada publik, tentang akibat dari kebijakan yang salah memakai perspektif. Apa akibatnya? pemotongan anggaran 135Triliun, yang dilakukan Sri Mulyani hari ini terhadap Human Development Index, di kabupaten di NTT sana.
Apa akibatnya?
Kalau anggaran gak dipotong? itu berarti Indonesia tidak punya kemampuan di mata internasional, untuk memperkenalkan diri sebagai negara yang khasnya masih ada. Itu disebut sebagai pilihan kebijakan yang potensial menghasilkan injustice. Jadi kita rancang kuliah ini, untuk satu hal, pertama apakah kebijakan publik hari ini didasarkan pada jenis keadilan yang selama ini disembunyikan oleh susunan teori mainstream.
Kalau kita periksa, secara cepat2, seluruh bukti efektifitas dari kebijakan publik, kita pergi pada ujung outputnya. Outputnya misalnya
- pada human development index.
- Outpuntnya misalnya tentang kepekaan negara tentang orientasi seksual manusia.
- Outputnya misalnya tentang UPAH MINIMUM terhadap kebutuhan2 manusia.
Kalau kita periksa secara cepet2, intuisi kita mengatakan bahwa kebijakan publik kita defisit, di dalam dua hal.
- Pertama dia tidak faham apa yang disebut sebagai injustice,
- yang kedua dia sengaja menggelapkan sejarah perempuan di dalam proses pengambilan kebijkan publik.
Tadi di Jakarta Post, halaman satu. Ada berita bahwa sekelompok tokoh, pergi ke MK, minta MK merevisi undang2 tentang adulteri, dengan dalil bahwa LGBT itu harus dinyatakan secara eksplisit, sebagai kejahatan. KARENA di dalam undang2 tidak secara eksplisit disebutkan, hanya disebutkan bahwa dua orang dewasa atas dasar kesepakatan, melakukan relasi seksual, bukan kriminal. SEKARANG mau dimintakan agar supaya dua orang dewasa itu harus dipisahkan dari konsep LGBT. Jadi kalau anda lihat, mereka begitu teliti orang yang hendak membatalkan kesetaraan manusia, mencari celah di dalam kebijakan publik, untuk menghasilkan misoginisme.
Di NTT ada suatu daerah, yang boleh disebut sebagai paling miskin di Indonesia, yang mempraktekkan suatu prinsip bahwa Ibuk setelah melahirkan dia harus tidur selama 40hari di dapur, tidak boleh makan daging, bersama bayinya.
Lalu kita mulai berfikir.
Kalau wisdom semacam itu tidak dipersoalkan oleh kebijakan publik, maka kita bisa bikin kesimpulan cepet2 bahwa dalam satu dekade ke depan, IQ nasional kita akan tergerogoti oleh jumlah anak yang kekurangan oksigen, kekurangan zat besi, yang disuplai oleh sebuah tradisi di NTT. Jadi dengan kata lain, IQ nasional akan defisit, 0.00000000 sekian point, hanya karena local wisdom yang berbahaya bagi pertumbuhan manusia.
Yang saya maksud bahwa, sering kebijakan publik, tidak diselenggarakan dengan posisi teori yang kritis, itu maksudnya itu. Sehingga injustice tumbuh dan kita bisa lihat akibatnya setelah satu dua periode ke depan. Kalau kita sebutkan yang lain misalkan injustice kebijakan publik itu tidak bisa membedakan injustice pada laki2 dan pada perempuan.
Kalau laki2 sedang mengalami ketidakadilan, mungkin sekali dia mengalami missfortune. TAPI bagi perempuan, injustice itu bukan sekedar missfortune, tapi missery suatu konsep yang tidak mungkin dipahami oleh laki2.
- PENDERITAAN oleh laki2 karena penderitaan kekurangan hak.
- Penderitaan pada perempuan adalah kulminasi pada semua jenis penderitaan. Termasuk penderitaan akan harapan tentang masa depan.
Jadi dari awal kita lihat bahwa distingsi antara
- ethics of rights,
- dan ethics of care
tidak dimasukkan pada pertimbangan kebijakan publik. Jadi teori keadilan itu selalu berbasis pada
- ethics of rights ( etika hak).
- Transaksi hak,
- jumlah hak yang diperlukan,
bukan ethics of care. SAYA mau cepet2 memperlihatkan beberapa posisi teori, yang dominant dijadikan basis kebijakan publik.
Public Policy
.
Publik Policy itu seringkali ditentukan oleh teori yang dipakai seringkali tidak eksplisit yang didasarkan pada prinsip2 keadilan yang maskulin. PRINSIP2 itu bisa kita temukan di dalam dua gugus teori filosophi yang pertama disebut sebagai pendekatan
utilitarianisme. Suatu jalan fikiran yang diucapkan oleh jeremy benten di abad 17. Untuk memperlihatkan bahwa kebahagiaan itu hanya bisa disebut adil, bila memuaskan mayoritas. Terkenal prinsip apa? the greatest happinest, itu hanya boleh dihasilkan bila dia menyangkut the greatest number. Dalilya sederhana, suatu masyarakat disebut ADIL bila sebagian besar mayoritas memperoleh kebahagiaan terbanyak dari produk nasional, produk masyarakat. Di dalam ekonomi yang biasa dihitung sebagai jumlah agregat yang biasa dihasilkan dan jumlah itu harus menyenangkan mayoritas. Sekarang ada problem, usjustice, disebut mayoritas.
Sebetulnya ide tentang mayoritas itu menganggap bahwa semua manusia, setara di dalam kebutuhanya. Jadi utilitarianisme itu semua manusia setara di dalam kebutuhanya. Feminisme memberi kritik, tidak setera. Misalnya dulu di zaman orde baru, ukuran untuk menghitung utility manusia agar bisa dibuatkan formula tentang kebutuhan pokok, kuncinya adalah kebutuhan manusia itu diukur berdasarkan kebutuhan laki2. Karena itu rokok dimasukkan sebagai kebutuhan pokok pada waktu itu, sementara itu pembalut tidak dimasukkan sebagai kebutuhan pokok. Jadi gaji dipakai berdasarkan kebutuhan fisik, laki2. Karena dianggap buruh selalu addalah laki2. Jadi dari awal ada bias di dalam teori keadilan, dan bias itu menyelundup di dalam public policy.
TETAPI sebetulnya, prinsip di dalam utilitarianisme itu cukup egaliter pada waktu itu. Karena pada waktu itu keadilan ditentukan oleh belas kasihan seorang aristokrat, atau ditentukan oleh hukum yang diatur di dalam teologi. Kita ingat itu abad2 16, hak itu tidak ada. Hak itu hanya ada pada
- Raja,
- pada seorang feodal,
- atau pada para pendeta,
Jadi kita kalau hidup pada waktu itu tidak bisa menuntut hak, karena asal usul hak itu tidak sekuler. Nah jeremy bentend menganggap bahwa ini tidak bisa, kalau hak itu diandalkan pada sesuatu yang tidak berdasarkan transaksi manusia. Oleh karena itu dia puter argumentasi, bahwa hak keadilan harus berasal dari masyarakat sendiri, tidak boleh nunggu semacam ijin dari gereja atau belas kasihan dari aristokrat. Pada saat itu utilitarianisme menghasilkan kesetaraan, sebab akhirnya orang tidak lagi tergantung pada relasi personal dengan tuanya, juga tidak tergantung pada sholeh tidaknya pada paus atau romo di eropa. Utilitarianisme merupakan jalan fikiran yang revolusioner. Itu adalah penyelesaian yang sekuler dari keadilan. Teori itu tidak lagi demokratis, karena tidak mengukur keadilan yang bekerja pada perempuan. (12.00)
--
Komentar
Posting Komentar