عَن أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال
كلُّ ذنوبٍ يؤخِرُ اللهُ منها ما شاءَ إلى يومِ القيامةِ
إلَّا البَغيَ
وعقوقَ الوالدَينِ
أو قطيعةَ الرَّحمِ
يُعجِلُ لصاحبِها في الدُّنيا قبلَ المَوتِ
Kita harus bener2 memisahkan, mana yang merupakan kepentingan publik, dimana kita harus ikut berkomentar disitu. Dan mana masalah prifat, yang kita tidak ada kepentingan untuk menghakiminya. Ada ranah yang seperti itu. Tetapi ketika misalnya muncul kasus yang seperti ini, kasus ini bener2 blur, kita kesulitan membedakan kasus ini prifat atau publik.
Kita mulai harus berfikir ulang tentang, bahwa kita punya aib, dan gak mau aib kita terbongkar. Kalau misalnya aib kita terbongkar, kita harus introspeksi bahwa ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. Mungkin kita ngeduluin ngebongkar aib orang lain, padahal itu bukan ranah kita dan sebagainya, sehingga kita mendapatkan (karma)nya. Mungkin kan? seperti itu?
Cara terbaik untuk agar aib kita tidak terbongkar adalah jangan berbuat aib, jangan berbuat dosa. Apalagi dosa sosial. Jadi gini aturanya baraya, Dosa sosial itu bisa dimulai ketika baraya menghendakinya. Tetapi dia tidak akan berakhir, pembalasanya tidak akan berakhir,walaupun baraya memohonya. Makanya sebaiknya kita hindari masalah2 yang terkait dengan dosa sosial. Dan lebih lagi yang lebih mengerucut di dalam hal ini, menikahlah, atau berpasanganlah, secara rasional. Ini penting baraya, karena masyarakat kita itu menganggap pernikahan kita itu sesuatu yang sakral tetapi emosional.
JADI misal ada tetangga saya, ketika di usia 20tahunan, dia mendapatkan pilihan. MENIKAH dengan seorang filosof yang baik hati, atau menikah dengan seorang pengusaha yang baik baik, yang sudah mapan ekonominya. Dia memilih yang mana? dia akhirnya memilih seorang filosof yang baik hati dan tidak punya pekerjaan itu. Dia berfikir si suami akan berubah ketika si suami mendapatkan tanggung jawab. TAPI kenyataanya tidak seperti itu, si filosof tidak ingin punya banyak anak, tetapi tidak ingin mengasuhnya. Si Filosof pingin punya istri, tetapi tidak mau menafkahinya. DAN akibatnya apa? setelah mereka berpisah/bercerai, tetap saja si istri menanggung penderitaan, karena memiliki banyak sekali anak yang memiliki banyak sekali tuntutan ekonomi, dan dia tidak bisa menghidupinya. Dan anaknya butuh hiburan, karena anak2nya tahu ibuk dan ayahnya bercerai. Baraya kan pernikahan itu, baraya umur berapa tahun ketika menikah? baraya mungkin akan hidup dalam pernikahan itu 20 tahun 50 tahun, kan usia itu lebih panjang daripada usia baraya melajang. Maka pikirkan baik2 ketika baraya mau menikah. Jangan gara2 alasan cinta, jangan gara2 alasan sayang. Saya sudah pacaran sama dia 5tahun, ayo kita menikah. Itu adalah pertimbangan2 yang konyol. Kalau misalkan baraya mau menikah, fikirkan dengan serasional mungkin. Saya tahu cinta kasih itu hanya bisa kita gunakan untuk menikmati pernikahan itu, untuk menikmati hubungan itu. Jangan dijadikan sebagai pertimbangan untuk memilih dengan siapa? kita menikah.
Jadi gini baraya, mencintai itu hewani. Rasa ketertarikan kepada lawan jenis itu, hewani. Sebab hewan pun memiliki sifat yang seperti itu, tetapi untuk menjadi manusia, baraya bisa mempertimbangkan secara rasional. Baraya punya anak misalkan, punya anak itu hewani, karena hewan juga punya anak. Yang membedakanya kita sebagai manusia adalah bahwa kita bisa mendidiknya, dan membangun sosialisasi dari anak itu sehingga dia bisa menjadi bagian yang terlatih, yang terdidik, misalnya seperti itu. Berhubungan seksual itu, itu adalah masalah hewani, hewan juga melakukan hal yang sama. Untuk menjadikanya manusiawi, maka dia harus disertai dengan tanggung jawab. Kalau baraya mau pacaran atau mau menikah atau mau apa, tolong jangan hilangkan rasionalisme dalam otak baraya. Karena bagaimanapun itulah yang paling menentukan kehidupan baraya di masa depan. Jangan sampai terjebak pada kisah perempuan yang tadi itu, walaupun dia sudah mengetahui, dia bener2 mengetahui, dia mengabaikanya karena cinta kasih.
Komentar
Posting Komentar