Langsung ke konten utama

Filsafat bikin GILA | Catatan Guru Gembul 66

 

Filsafat dan Gila 
Apakah filsafat bisa membuat orang menjadi gila? ini adalah rumor yang banyak kita dengar di masyarakat. Bahwa filsafat kalau dipelajari oleh sembarang orang, dan dipelajari dengan cara yang salah itu akan membuat orang menjadi gila. 

Apakah rumor ini benar? SAYA RASA ini benar, karena menurut pengalaman saya pribadi, Saya bertemu dengan dua orang yang luar biasa, dan dia menjadi gila, gara2 dia belajar filsafat. Salah satunya adalah kawan saya sendiri, dia adalah seorang aktifis masjid, seorang yang sangat taat beragama, seorang yang sangat inspiratif, orang yang baik, orang yang banyak dijadikan teladan sama orang lain. 

 

TAPI ketika dia masuk ke dalam jenjang kuliah, dan bertemu dengan sekelompok orang yang belajar tentang THEOSHOFI, filasafat dan tasawuf disatukan. Dia lama2 menjadi agak aneh, rambutnya tiba2 menjadi agak panjang. Dan suka pakai pakaian hitam, dan tak lama kemudian dia mulai bertanya tentang hal2 yang aneh. Kemudian dia menyebutkan dua premis yang bertentangan kemudian dia berusaha sekuat tenaga untuk menghubung2kanya. Dia mulai berperilaku menyimpang. Dan tak lama kemudian dia mulai menyerang orang lain. Dia memukuli orang yang lewat, tanpa sebab. Dia memukuli kawanya tanpa sebab. Dia katakan, saya pukuli dia karena semua orang tidak tahu tentang apa yang dia pikirkan. Saya tahu apa yang dia pikirkan, maka saya pukuli dia. Begitu... dia diruqyah, datang ke rumah sakit jiwa, dan seterusnya, tetapi tidak ada yang berhasil mengobatinya. Saya adalah satu2nya orang yang menurut dia yang bisa diajak ngobrol baik2 sama dia. JADI kalau saya berkunjung ke rumahnya, saya bisa ngobrol berjam-jam, memahami apa yang dia maksud. Dia juga sepertinya memahami hal yang sama. TETAPI dia gila...

Kalau baraya mendengar apa yang saya alami barusan, baraya mungkin akan mengajukan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama kenapa kami bisa ngobrol? itu karena sesungguhnya dia waras, sehingga dia bisa memahami apa yang saya katakan. Atau kemungkinan yang kedua, sayalah yang gila, sehingga sesama orang yang gila saling memahami. Tetapi itu nyata, dia gila. Kawan saya yang lain, tetangga saya, dia juga adalah orang yang sangat baik, orang yang sangat taat beragama. Tetapi ketika dia masuk universitas, dimana universitas itu mengajarkan pengantar filsafat, dia mulai bertanya tentang hal2 yang aneh. Dan tidak lama setelah itu dia mencoba untuk bunuh diri beberapa kali dengan menabrakkan dirinya di rel kereta api. Gagal... tetapi setiap gagal, karena diselamatkan oleh orang lain. Dia selalu bertanya, bagaimana sesungguhnya mati itu? Bagaimana sesungguhnya akhirat itu? apakah Tuhan itu ada? Ternyata Tuhan itu ada karena saya diselamatkan. Tetapi dia mengulangi hal yang sama, beberapa kali lagi. Apakah itu korban filsafat?

Mentor saya juga menceritakan bahwa kawanya juga menjadi Gila gara2 belajar filsafat. Dia mengurung dirinya di dalam kamar, makan disitu, buang air disitu, kerjaanya hanya membaca, merenung, membaca, merenung. Dia tidak mau keluar gara2 terlalu banyak pelajaran filsafat yang pingin dia bahas, di kamarnya itu. Jadi apakah belajar filsafat itu bener2 membuat gila? ya.. untuk sekelompok orang. TETAPI untuk lebih lanjut, yuk kita bahas. 


--

Saya sendiri belajar filsafat, dan saya sempat hampir gila. TETAPI tidak gila. Apa saya gila? coba cek baraya ya.. apakah saya gila? Gak.. ini adalah sebuah pertanyaan filosofis. Saya tantang baraya, untuk menjawab pertanyaan saya. Buktikan kalau baraya tidak gila. Bisakah membuktikanya? Mungkin saja.. saya buka kemungkinan ya.. Mungkin saja, baraya yang sedang nonton video ini sambil tiduran, sedang guling2 gitu. Menganggap bahwa dirinya itu sedang tiduran, nonton video saya. Tetapi mungkin saja realitas yang sesungguhnya bahwa baraya itu sedang tiduran di dekat rel kereta api. Sedang guling2 hampir telanjang, dengan pakaian yang compang camping. Kotor dengan rambut yang gimbal. Saya berfikir bahwa baraya sedang nonton video saya, bahwa sesungguhnya semua orang melihat baraya sedang melihat sebuah batu. Tiduran, dan ketawa2 sendiri gak jelas. Mungkinkah seperti itu? buktikan baraya sedang bener2 menyaksikan video ini. Apakah kesadaran baraya tertipu, atau aslinya baraya tidak seperti ini. MUNGKIN...? ya mungkin saja.. kita tidak pernah tahu. Selama ini bukti2 yang baraya tahu tentang kehidupan, Itu dimulai dari bukti2 indrawi. 

 

APAKAH baraya hidup disini? 

iya.. mana buktinya?
buktinya kita bisa melihat tangan,.... semuanya adalah bukti indrawi. Bagaimana kalau bukti indrawi itu salah? Tokoh2 yang sangat SKEPTIS, seperti Hum, atau al Ghozali mempertanyakan tentang bukti2 indrawi itu. Jadi kalau baraya bertanya tentang filsafat. Maka justru filsafat balik bertanya kepada baraya. Buktikan kalau baraya itu ada. Kalau baraya mau belajar filsafat, dan inilah katanya banyak membuat orang lagi gila, filsafat itu menantang baraya untuk melakukan dekonstruksi, terhadap semua yang baraya yakini, terhadap semua yang baraya ketahui sekarang. 

Jadi misalnya baraya beriman kepada Tuhan. 

Dekonstruksi dulu, hancurkan dulu keimanan. Kalau mau beriman oke, silahkan beriman. Tapi setelah diselidiki dari akar2nya dulu. Baru ambil lagi imanya. Jadi pertanyakan dulu, memang Tuhan itu ada? kalau Tuhan itu ada, kenapa harus memaksa kita untuk beribadah? Kenapa Tuhan harus memaksa kita untuk mempercayainya? Bukankah Tuhan langsung memberikan kepercayaan kepada kita, selesai sudah. Nah... pertanyaan2 filsafat seperti itu adalah pertanyaan yang menggoncang iman. Dan IMAN sendiri bertentang dengan filsafat dalam hal epistemologinya. ORANG2 filsafat tidak mau mempercayai, orang2 filsafat hanya mau mengetahui. Apa bedanya percaya dan tahu? Wah ini luar biasa kajian filsafat ya. APA BEDANYA percaya dan tahu? 

Percaya itu, adanya informasi di dalam benak, tetapi kita tidak mempunyai bukti indrawi.
Sedangkan mengetahui itu adalah informasi di dalam benak, sedangkan kita mengetahui adanya bukti. Setidaknya bukti indrawi. 

Contoh dari kepercayaan, contoh dari iman adalah. Tuhan itu ada. Kita tidak pernah melihat wujudNya, kita tidak pernah melihat korelasi antara Tuhan dan ciptaaNya. Kan banyak orang beragama mengatakan, Tuhan tidak terlihat, tetapi Tuhan bisa terlihat dari... bisa dibuktikan dari ciptaanNya yang begitu banyak. Orang filsafat bilang, apa hubunganya? jangan2 ini muncul karena kebetulan. Jangan2 ini muncul karena sudah ada sebelumnya. 

Philosophy
Question that may never be answered.

Religion
Answers that must be questioned

 

Kenapa harus dihubungkan dengan Tuhan? orang2 filsafat mempertanyakaan seperti itu semua. Jadi orang filsafat pada prinsipnya saya tidak mau mempercayai, kecuali ada buktinya. Nah sedangkan kalangan beragama akan berfikir sebaliknya. Ketika dapat wahyu dari Tuhan, maka sami'naa wa atho'naa. Percayalah, karena logika itu tidak mampu menjangkau Tuhan, dan sebagainya. 


Kata orang filsafat, kalau Tuhan tidak bisa dijangkau dengan logika, ngapain Tuhan menciptakan logika. Nah.. saya tidak mau mengajak baraya untuk masuk ke dalam filsafat lebih dalam. Tetapi maksud saya adalah, kalau baraya orang beriman. Kalau baraya berfikir tentang kehidupan dalam artian lebih banyak mempercayai daripada mengetahui. Maka pertanyaan2 filsafat ini bener2 mengguncang, sehingga banyak orang yang tidak kuat dengan ini, sehingga akhirnya mereka menjadi gila. Karena mempertanyakan dan itu bentrok dengan apa yang dia ketahui selama ini. 

 

Kehidupan yang tidak teruji, adalah kehidupan yang tidak bernilai
Socrates

 

BUKAN berarti filsafat itu akhirnya bertentangan dengan agama. Karena, pada akhirnya seperti yang saya bilang tadi. SETELAH orang berfilsafat, kemudian menemukan imanya di dalam filsafat, biasanya dia menjadi sangat kuat. TOKOH2 di dunia Kristen, biasanya Aquines, atau Emanuel Kan, Atau tokoh di dalam dunia islam, ada banyak sekali. Diantaranya adalah Al Ghozali, Al Farobi, Ibnu Sina dan sebagainya. KETIKA mereka belajar filsafat, mereka coba hilangkan dulu agamanya, kemudian mereka kembali beriman. Mereka bener2 bisa memahami agamanya dan tidak bisa dibantah lagi. AL Ghozali itu pernah mengalami "Kegilaan" selama sekitar dua tahun. Ini diceritakan dalam bukunya yang terkenal Al Munqidh minad Dholal, sebelum akhirnya dia menemukan kembali iman yang sesungguhnya. Tetapi iman itu sudah didasarkan pada falsafiah.

TETAPI disisi lain, banyak juga para filosof2 setelah mempertemukan agama dengan filsafat2. Dia menjadi memilih salah satunya. NIETZHE misalnya langsung menyatakan bahwa tuhan telah mati. Karena kitalah yang membunuhnya. Karl Max, saya tidak tahu apakah karl max tetap beragama atau tidak. TETAPI Karl Max kritis terhadap agama. Cuman baraya balik lagi, apakah filsafat bisa membuat gila? Dalam tataran dia menyuruh kita, memaksa kita untuk mendekonstruksi, memberikan syarat kepada kita bahwa kita harus membuang apa yang harus kita ketahui dulu. Apa yang kita imani dulu, apa yang menjadi ideologi kita. Buang dulu, kemudian kita runut dari awal lagi. dimulai dari pertanyaan2 mengapa? Nah itu bisa membuat orang menjadi gila. Kalau orangnya kalau biasanya orang itu sebelumnya latar berfikirnya kaku. Kemudian filsafat mengajarkan, setelah kamu menghilangkan semuanya, kamu mulai dari awal, kamu mulai dari pertanyaan2 logis. Dengan urutan logika, itu baraya harus skeptis. HARUS tidak mau percaya tanpa bukti. DAN setelah itupun, setelah itu selesai, maka baraya akan dihadapkan dengan pertanyaan2, bukan pada pertanyaan2 tentang kebutuhan. Baraya, sebagian dari kita, berfikir tentang apa yang kita butuhkan. Kita berfikir tentang bagaimana kita besuk mau makan apa? Besuk kita bergaul dengan siapa? pertanyaan2 ini adalah pertanyaan2 yang praktis. 

TETAPI kalau sudah masuk ke ranah filsafat, baraya akan bertanya... kenapa ini transparant? kenapa ini warnanya putih? kenapa saya harus melakukan ini? Kenapa saya harus melakukan itu? semuanya dimulai dari pertanyaan. Kenapa ini namanya bawah? kalau mau masak kenapa harus pakai panci bentuknya... u misalnya. Apakah itu pertanyaan2 yang gabut? bukan, itu pertanyaan2 itu adalah ibu dari segala pengetahuan. Dari pertanyaan filsafat itulah, akhirnya seluruh ilmu pengetahuan itu muncul. Kenapa ada pelajaran fisika? kenapa ada ilmu yang namanya biologi? Karena dulu orang bertanya tentang hal2 fisik, maka muncullah fisika. Kebanyakan dari kita tidak pernah mempertanyakan, kenapa kita jatuh? Nah itu udah takdir, bla bla bla... Orang filsafat tidak mau menerima pendapat seperti itu, tidak mau menerima jawaban seperti itu. Dia harus berfikir, kenapa bisa jatuh? akhirnya muncullah ilmu yang namanya gravitasi. Kenapa kita hidup? akhirnya munculah ilmu biologi. Jadi filsafat itu adalah awal mula dari seluruh ilmu pengetahuan. Jadi agama yang kuat, juga agama yang disandingkan dengan ilmu pengetahuan, dan juga filsafat. Kalau agama itu tidak disandingkan dengan filsafat, biasanya, seperti debat agama, debat kusir di Youtube, di channel2 yang aneh2 itu. Debat, agama, itu semuanya debat kusir. Karena tidak didasarkan pada pengetahuan yang mendalam. Dan semuanya didasarkan pada tendensi. 

Sudah didasarkan pada pengetahuan awal, bahwa saya tidak suka pada agama itu, saya pingin membuktikan kejelekan agama itu. Bahwa saya suka agama ini, maka saya harus membela agama ini. Orang filsafat gak mau itu, hilangkan dulu semuanya. Mulai dari awal, selidiki dari awal. Baraya, kalau mau coba saya tantang untuk memulai dari awal. Mulai dari seluruh pengetahuan yang ada. Buang dulu semua pemahaman yang ada, buang dulu, mulai dari awal. Kenapa ini, ini...  kenapa ini ini ini... Kalau sudah seperti itu, baraya punya dua kemungkinan akhir, baraya menjadi gila, atau baraya akhirnya menemukan makna dari pemahaman, makna dari pengetahuan baraya yang sesungguhnya. Begitu...

Religion without science is lame
Science without religion is blind
Einstein


Nah itu sekedar pengantar, saya tidak menuntut baraya untuk belajar filsafat. Belajar filsafat memang mungkin, hanya untuk segolongan orang. Segolongan orang yang memang latar belakangnya sudah terbuka, yang sebelumnya memang tidak memiliki fikiran yang aneh2, sudah siap dengan semua kenyataan yang ada, hingga akhirnya seperti itu. Tetapi sebagian besar orang kan tidak seperti itu. 


Orang yang mengklaim kebenaran, biasanya tidak benar.
Puncak pengetahuan seseorang adalah dia tidak tahu apa pun.
Orang yang tercerahkan biasanya tidak tahu apa itu pencerahan.


Oke itu saja baraya,


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Korupsi dan Penjajahan | Catatan Guru Gembul

  Saya kemarin cerita ke murid2 saya di sekolah , cerita bahwa di Indonesia KORUPSI itu susah untuk diberantas. Misalkan PAK SAMBO divonis sekian tahun penjara. Siapa yang membuktikan? bahwa nanti dia akan tetap tinggal di penjara? saya katakan seperti itu. Mungkin aja dia ganti identitas, terus dia pindah pulau, pindah negara, dan sebagainya. Atau malam2 bisa keluar, kan pernah ada kejadian yang seperti itu. Karena ada contohnya, ada berita yang keluar.    Kan misalkan begitu, ini mah kan hayalan. Kan misalkan begitu...   Putus Asa . Saya katakan, jadi kalau misalkan kita mau memberantas soal korupsi, kita gak bisa bilang bahwa hukuman mati buat koruptor dan sebagainya. Gak sesederhana itu, saya jelaskan bahwa KORUPSI itu begini, begini, begini. Kemudian saya tanya , sebagai guru kan, setelah saya ajukan masalahnya. Kira2 menurut kalian, apa solusinya? Mereka itu kompak jawabnya, pak sudahlah pak, jangan bahas yang kayak gini terus. Kalau misalkan kita mau maju, kita undang lagi pemer

Banjirnya Ilmu Pengetahuan | Catatan Guru Gembul

  Disklaimer Ini adalah transkrip dari youtube perbincangan Helmi Yahya dengan Guru Gembul. Jadi kalau mau melihat lebih lengkap, bisa langsung saja ke sumber perbincanganya.    Zaman Media . Sekarang itu zaman media. Jadi kalau misalnya (ada pertanyaan) Pengetahuanya darimana? Itu sebenarnya pertanyaan kurang relevan untuk zaman sekarang. Karena kita (untuk) mengetahui / akses untuk mendapatkan informasi itu banyak sekali kan? (Untuk Zaman) Sekarang pertanyaan yang paling utama BUKAN Darimana kalian mendapatkan Pengetahuan?  Tetapi darimana? (kita mengetahui bahwa) Pengetahuan itu BENAR, Pengetahuan itu bisa DIVERIFIKASI.   Kurasi menjadi penting?  kegiatan mengelola benda-benda dalam ekshibisi di museum atau galeri Iya itu penting. Kan kalau misalkan dalam metodologi ilmu itu, setelah kita mengumpulkan sebanyak mungkin sumber, kita mampu mengkritik sumber itu. Nah kita sekarang, di zaman digital, di zaman cyber, di zaman yang entah namanya apa ini? yang setiap sepuluh tahun itu namp

Belajar Adab dalam Islam | Catatan Guru Gembul 707

  Belajar Adab . Ada seorang konten kreator yang juga adalah seorang santri muda, yang nampaknya sudah lama sekali menjadi santri. Dia mencoba untuk mengkritik gagasan dan pemikiran saya melalui video2 di youtube-nya. Alih-alih dia mendapatkan perhatian, dan persetujuan, dia malah dicacimaki oleh para netizen.  Apa alasannya?   Karena dia yang sudah nyantri begitu lama, yang referensi kitab kuningnya itu banyak sekali, ketika dia menyampaikan kritik dia berpose seperti ini, kurang lebihnya dengan wajah yang mendongak, dan kemudian dengan rokok yang semacam itu. Ya tentu saja netizen mempertanyakan, bagaimana ceritanya ada santri yang lama sekali e belajar kitab kuning belajar agama Islam dan seterusnya, hanya untuk menyampaikan kritik dia menyampaikan dengan sesuatu yang sepenuhnya tidak beradab, atau adabnya kurang. Beberapa video berikutnya dia memperbaiki diri dan akhirnya dia tampil lebih baik tampil lebih terbuka dan minta maaf atas aktivitas e dia waktu dia mengkritik dst. Cuma